Penulisan Inisial dalam Berita Hukum

Beberapa koran yang terbit di Manado, Sulawesi Utara

DALAM
banyak baca berita berkait hukum atau kasus kriminal, saya masih sering menemukan penulisan inisial terlapor, tersangka dan terdakwa.

Bahkan saat berstatus terpidana, nama pelaku masih kerap ditulis inisial. 

Namun sebagian media massa lain menulis nama lengkap tersangka dan terdakwa dalam berita. Terlebih jika sudah terpidana. Lalu manakah yang benar? 

Menurut saya, media massa tidak harus menuliskan inisial dalam pemberitaan seorang sebagai tersangka.

Sebab dengan status terlapor, terduga, tersangka, terdakwa dalam penulisan berita itu sudah memenuhi asas praduga tidak bersalah.

Apalagi jika pelaku sudah berstatus terpidana. Itu artinya perbuatan pelaku terbukti secara hukum.

Maka tidak perlu lagi ditulis inisial dalam berita. Memang saat meliput, aparat penegak hukum sering hanya menyampaikan inisial tersangka kepada para wartawan.

Sangat jarang apara penegak hukum (APH) secara terbuka menyebut nama lengkap tersangka. 


Bagi jurnalis yang serius ingin menyajikan berita komprehensif, dia tidak boleh sekadar menerima informasi sebatas inisial begitu saja dari APH.

Inisial itu hanya informasi awal. Tugas jurnalis selanjutnya adalah menemukan nama lengkap atau identitas lebih rinci tentang tersangka.

Penggunaaal inisial tersangka justru bisa dianggap melindungi pelaku. Di sisi lain orang tidak bersalah bisa tercemar.

Sebab dengan inisial, bisa menimbulkan banyak interpretasi atau tuduhan. Terlebih kepada orang yang namanya mirip dengan inisial tersangka.

Padahal dengan menulis nama lengkapnya, manfaatnya masyarakat bisa mengenal dan lebih hati-hati terhadap tersangka.

Hal serupa pada foto atau video yang menampilkan tersangka. Tak mesti ditutupi atau disamarkan wajah tersangka.

Menurut saya, penggunaan inisial seseorang dalam berita hanya bagi:

1. Korban perbuatan asusila
2. Pelaku kejahatan tersebut masih anak di bawah umur. 

3. Pelaku merupakan keluarga dekat korban pemerkosaan.

4. Sumber yang jika ditulis lengkap identitasnya, dikhawatirkan terancam hidupnya.

Aturan tersebut sesuai Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ): ”Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”

Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

Karena itu juga dilarang menyebutkan nama orangtua atau keluarga korban dalam berita.

Termasuk tidak menulis alamat rumah, kampung, desa, kantor atau sekolah korban asusila atau anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Disebut anak jika berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. 


Seruan Dewan Pers

Perihal berita kejahatan susila, jurnalis perlu selalu mengingat Seruan Dewan Pers Nomor: 189/S-DP/VII/2013 tentang Pemberitaan Kasus Kejahatan Susila. 

Seruan dimaksud ditandatangani Prof Bagir Manan sebagai Ketua Dewan Pers. Bertanggal 10 Juli 2013.

Poin penting dari seruan itu, Dewan Pers mengajak wartawan untuk bersungguh-sungguh melindungi korban kejahatan susila dengan menutup rapat identitasnya. 

Apalagi yang masih tergolong anak-anak atau belum dewasa.

Prinsip hati-hati, empati, dan sikap bijaksana sangat dituntut dalam setiap pemberitaan tentang kejahatan susila.

Bahkan Dewan Pers sebenarnya menganjurkan penggunaan sebutan seorang perempuan, seorang anak atau korban untuk menggambarkan identitas korban.

Pemuatan gambar korban dan keluarganya, gambar tempat tinggal atau tempat kerjanya.

Walaupun disamarkan atau diburamkan, masih berpotensi mengarah pada terungkapnya identitas korban.

Karena itu, pemuatan gambar-gambar tersebut sebaiknya juga dihindari. Pers tidak sepatutnya mengeksploitasi kasus kejahatan susila. (jumadi mappanganro)

Manado, 17 Februari 2023

CATATAN: Tulisan di atas lebih awal dipublikasikan di Tribun Manado


Komentar